Setiaptahunnya, kasus pelanggaran HAM relatif terus mengalami peningkatan, baik itu pelanggaran HAM ringan maupun pelanggaran HAM berat. Nah, dalam upaya menegakkan HAM di Indonesia ini, perlu adanya dukungan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga harus berperan aktif untuk menghormati HAM. Supaya dapat terlaksana, maka perlu adanya
eksistensipengadilan hak asasi manusia terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di indonesia oleh: walidain, m. ahsanul, et al. terbitan: (2015) KEADILAN TRANSISIONAL SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA oleh: Winandi, Woro Terbitan: (2015)
Penahananjuga merupakan suatu upaya penyidik untuk menaikkan posisi tawar menawar bahkan juga merupakan suatu bentuk penyanderaan (gijzeling) atas perlunasan suatu prestasi yang tunduk dalam hukum perdata, padahal penahanan terhadap seseorang atas dasar hutang piutang jelas melanggar hak asasi manusia, bahkan pada tingkat putusan pengadilan
Menjelaskanupaya penegakan HAM di Indonesia. 2. Mengidentifikasi dokumen penegakan HAM di Indonesia. 3. Menganalisis contoh kasus pelanggaran HAM. 4. Mencari solusi terhadap penyelesaian kasus HAM. 5. Menghubungkan atau mengaitkan upaya penegakan HAM hubungannya dengan demokrasi di Indonesia. 6. Menampilkan perilaku yang sesuai dengan
AA A. JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menanggung sendiri usaha penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sedikitnya ada 12 peristiwa yang diduga ada pelanggaran HAM yang sulit dibawa ke pengadilan. Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM menjadi salah satu agenda utama politik
xueaUym. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Hak Asasi Manusia HAM didefinisikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa "rights inherent to all human beings, whatever our nationality, place of residence, sex, national or ethnic origin, colour, religion, language, or any other status. We are all equally entitled to our human rights without discrimination." Hak asasi manusia adalah serangkaian hak istimewa yang melekat pada realitas dan keberadaan manusia sebagai makhluk dari satu Tuhan dan merupakan karunia-Nya yang harus dihormati, dihargai, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap individu untuk kehormatan dan perlindungan martabat dan martabat manusia. Definisi ini diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. NKRI merupakan negara yang menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia HAM, negara yang memiliki hukum yang adil, negara berbudaya yang beradab, dan masyarakat yang yang bermoral Balqis & Najicha,2022. Gaya hidup yang beradab dan bermoral juga dipromosikan di antara orang Indonesia. Kehidupan sehari-hari menempatkan penekanan yang kuat pada prinsip-prinsip moral termasuk saling menghormati, toleransi, gotong royong, dan saling peduli. Meskipun tidak semua anggota masyarakat atau kelompok sosial mematuhi cita-cita ini secara konsisten, masyarakat Indonesia terus memprioritaskan moralitas. Hak asasi manusia melekat pada diri manusia itu, maka seburuk apapun perilaku dan perlakuan yang dialami seseorang ia akan tetap menjadi manusia dan hak-hak tersebut akan selalu melekat pada dirinya Nugroho, A. R., & Fatma Ulfatun Najicha,2023. Ada berbagai macam jenis HAM salah satunya HAM dalam berpendapat, baru-baru ini banyak sekali masyarakat yang menyuarakan pendapat mereka dalam berbagai cara contohnya dengan melalui platform media sosial atau media elektronik. Hal ini memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam dialog publik, membagikan pandangan mereka, dan mempengaruhi opini publik. Hak asasi manusia dalam berpendapat mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berbicara, dan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi. Dalam konteks digital, platform-media sosial telah menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk melibatkan diri dalam diskusi publik dan menyuarakan pendapat mereka. Terlebih lagi kita hidup dizaman yang sudah maju seperti mudahnya mendapatkan informasi dan komunikasi Sulistyo & Najicha,2022. Kebebasan berekspresi tentu saja sangat dibolehkan tetapi kita tetap harus berperilaku santun dan tidak menyinggung pihak yang lain Hilmy & Najicha,2022. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun ada kebebasan berekspresi, ada juga batasan-batasan tertentu yang diterapkan dalam konteks hukum. Misalnya, penghinaan, penghasutan kekerasan, atau penyebaran konten yang melanggar hukum seperti kebencian atau pornografi anak dapat menjadi pelanggaran dan dapat itu, perlu diingat bahwa kebebasan berpendapat juga harus diiringi dengan tanggung jawab. Menyuarakan pendapat secara bertanggung jawab berarti menghormati hak-hak dan martabat orang lain, menghindari menyebarkan informasi palsu atau fitnah, serta menghormati batasan etika dan hukum yang berlaku. Dalam hal ini kebebasan berpendapat tercantum dalam sila ke-4 yaitu Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung nilai setiap warga Indonesia sebagai kelompok masyarakat memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama dalam pemerintahan Wibowo & Najicha,2022. Ini mengakui bahwa setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, memperoleh informasi, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan negara. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam perdebatan dan perumusan kebijakan melalui musyawarah atau setiap negara memiliki tantangan dan permasalahan dalam menjunjung tinggi HAM, menerapkan hukum yang adil, dan membangun masyarakat yang berbudaya dan bermoral. Peningkatan terus menerus dalam semua aspek ini adalah upaya yang harus terus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Terkadang terdapat kasus di mana instansi pemerintahan dikritik oleh masyarakat, namun tidak menerima kritik tersebut dan bahkan menggunakan intimidasi terhadap orang yang mengkritik. Transparansi dari pemerintah mengenai suatu kebijakan dapat kita respons dengan menyampaikan aspirasi atau kritik yang membangun Latifah & Najicha,2022. Yang membuat masyarakat takut untuk mengkritik kinerja pemerintah, padahal kritik untuk suatu negara itu penting untuk menjadi bahan evaluasi ke depan nya tokoh masyarakat atau mahasiswa yang meng-kritik dan mendapat intimidasi dari pemerintah. Perlunya perlindungan HAM dalam bependapat sangat membantu masyarakat jika di intimidasi pemerintah. Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dipertegas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 25. Menurut Pasal 23 Ayat 2, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan, melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan itu, Pasal 25 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketika datang pada kegiatan atau kebijakan pemerintah yang tidak adil, tidak jujur, atau melanggar hak asasi manusia, melindungi hak-hak manusia termasuk membantu warga dalam mengungkapkan kekhawatiran mereka. Perlindungan hak asasi manusia dapat menawarkan lembaga independen dan kerangka hukum untuk melindungi hak individu, menegakkan akuntabilitas, dan mengejar keadilan dalam kasus-kasus di mana pemerintah mengintimidasi kritikus atau aktivis. Ini memberi jaminan kepada populasi bahwa ada mekanisme yang adil dan terbuka untuk melindungi mereka dari penyalahgunaan otoritas pemerintah. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
› Riset›Penyelesaian Kasus Pelanggaran... Diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk tragedi Mei 1998. OlehYohanes Mega Hendarto 5 menit baca KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga menunggu datangnya armada Bus Transjakarta di Halte12 Mei Reformasi, Grogol, Jakarta, Minggu 6/5/2018. Penamaan halte yang diresmikan pada 2013 ini untuk mengenang empat mahasiswa yang gugur akibat terjangan peluru saat berunjukrasa menuntut reformasi di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta pada 12 Mei Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I-II, dan penghilangan orang secara paksa, adalah ibarat deretan “luka batin” yang menggores perjalanan sejarah bangsa. Meski semakin sayup dalam ingatan publik, tuntutan pemenuhan rasa keadilan masih menjadi hutang segenap pemangku kepentingan di negeri 23 tahun, publik tidak yakin pemerintah akan mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah mengubah wajah politik nasional tersebut. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu. Perkembangan sosial politik membuat makin sulit mewujudkan rasa keadilan yang selaras dan mencukupi bagi semua komponen yang terlibat peristiwa tersebut. Tak hanya berbenturan dengan kepentingan politik kontemporer, pemenuhan rasa keadilan bagi satu pihak bisa menjadi rasa ketidakadilan bagi kelompok atau pihak lain yang merasa dipersalahkan. Ada kekhawatiran, kondisi psikologis sosial masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menilai dan mengambil sikap sebuah isu sensitif terkait SARA secara ambil contoh dari kasus seputar kerusuhan Mei 1998. Dari dua belas kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di tanah air, ada empat peristiwa yang terjadi menjelang reformasi Indonesia. Selain kerusuhan massa, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa, peristiwa pemerkosaan warga etnis Tionghoa seringkali luput dari pemberitaan terjadi karena tragedi perkosaan saat huru hara cenderung tabu untuk diangkat kembali ke masyarakat, terutama oleh media massa. Padahal, hingga kini pun tragedi tersebut masih meninggalkan trauma dan luka yang sangat dalam bagi para korban dan keluarga SIHOMBING Puluhan ribu massa yang terdiri dari mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta, aktivis, tokoh masyarakat, artis, dosen dan berbagai kelompok profesi lainnya, Rabu 13/5/1998 siang, berbaur menjadi satu saat pemakaman dua jenazah mahasiswa Universitas Trisakti ”Pejuang Reformasi”, Elang Mulya Lesmana dan Heri Hartanto di di Tempat Pemakaman Umum TPU Tanah Kusir Jakarta tentang pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa, kerapkali berubah menjadi polemik yang menggeser inti kasus. Padahal berdasarkan laporan temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, tindakan perkosaan massal terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei seksual tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Medan, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Setidaknya, ada 85 korban sejauh ini yang dapat diverifikasi sebagai korban pemerkosaan, pemerkosaan dengan penganiayaan, serta penyerangan dan pelecehan perjalanan selama ini, para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 lebih banyak memilih bungkam karena trauma dan tidak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Menyadari peliknya permasalahan ini, pada Mei 2020 lalu Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK menggelar “Kampanye Recalling Memory Mei ’98”. Tujuannya, refleksi agar tragedi serupa tidak jajak pendapat, perhatian terhadap pemberitaan perkosaan warga etnis Tionghoa diikuti oleh 46,1 persen responden. Artinya, publik memerhatikan bagaimana media memberitakan terjadinya peristiwa itu sekalipun ada sejumlah pihak yang hak Tiga perempat responden sepakat bahwa peristiwa kekerasan saat kerusuhan Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat. Namun, bagian terbesar responden 42,7 persen menilai bahwa pemerintah belum tuntas menyelesaikan kasus tersebut. Sebesar 37,7 persen responden memandang bahwa selama ini hanya sebagian saja yang penyelesaian berupa pembentukan tim gabungan pencari fakta TGPF dan pengadilan HAM yang sudah dijalankan, tampaknya hanya memuaskan sebagian kecil responden saja 4,7 persen.Meski begitu, respon positif publik terhadap upaya penyelesaian hukum oleh pemerintah kini meningkat menjadi 37,7 persen jika dibandingkan dengan hasil jajak dua tahun lalu Kompas, 13 Mei 2019. Kala itu, hanya 19,6 persen responden saja yang menilai bahwa pemerintah sudah memenuhi pengusutan kasus Mei Presiden Jokowi menemui peserta “aksi kamisan” di Istana Negara pada 31 Mei 2018 juga menyiratkan adanya inisiatif dari pemerintah. Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat pada 2019 dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Desember 2020, Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM pada Maret 2021 lalu pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat UKP-PPHB. Dikhawatirkan, langkah ini menjadi upaya pemerintah untuk penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial dan menghindari proses pengadilan HAM terhadap para SIHOMBING Aparat keamanan bersiaga di kawasan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 13/5/1998.Merujuk pada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, para korban dan keluarga korban berhak mendapat perlindungan fisik dan mental, memperoleh kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Pemenuhan hak tersebut merupakan lanjutan dari PP Nomor 3 Tahun 2002. Sedangkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2002, para saksi pun turut berhak mendapat perlindungan dan perahasiaan dari jajak pendapat Kompas, persoalan pemenuhan hak korban ini juga menjadi poin penting yang disorot. Lebih dari setengah responden justru menyatakan bahwa aspek keadilan menjadi pemenuhan utama hak korban dan keluarga korban yang seharusnya diupayakan pemerintah. Aspek keadilan ini utamanya adalah penuntasan melalui dengan jalur hukum atau pengadilan pemenuhan dari aspek keadilan, para responden turut memperhatikan hak korban dengan menyoroti hak-hak lain yang seharusnya diterima para korban dan keluarga korban. Sebanyak 16,8 persen responden berpendapat bahwa pemenuhan hak material seperti ganti rugi atau santunan dari negara perlu diberikan kepada para korban 13 persen responden melihat bahwa perlu juga memenuhi dari segi sosial, seperti pemerintah mengakui adanya peristiwa perkosaan massal kepada etnis Tionghoa saat huru hara yakinMeskipun pemerintah cenderung mengambil “langkah memutar” untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, keinginan publik untuk penuntasan melalui jalur yudisial tetaplah kokoh. Hal ini terlihat dari separuh lebih responden 56,3 persen, menyatakan bahwa pengadilan yudisial seharusnya menjadi prioritas utama para responden mencoba bersikap realistis terhadap langkah prioritas pemerintah, yakni pemberian santunan dan bantuan bagi keluarga korban 15,2 persen, memberikan pendampingan psikologis kepada korban 15,1 persen, dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban 10,4 persen.Sayangnya, lebih banyak publik yang tidak yakin bahwa pemerintah mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 secara tuntas. Alasannya, tragedi Mei 1998 sudah terlalu lama, sebagian tersangka sudah meninggal dan sudah terjadinya sebagian peralihan generasi. Dalam jajak ini pun separuh proporsi responden tidak mengikuti pemberitaan kerusuhan Mei diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus Mei 1998. Seiring dengan itu, pembentukan UKP-PPHB, pemenuhan hak-hak korban, serta langkah-langkah selanjutnya perlu terus dikawal. LITBANG KOMPASBaca juga Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya
upaya penyelesaian kasus pelanggaran ham